EDUKASI : Matematika Tunanetra


A.    PENDAHULUAN
Matematika merupakan salah satu mata pelajaran pokok yang dipelajari siswa mulai dari jenjang terendah hingga jenjang tertinggi. Mata pelajaran matematika diberikan untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Kemampuan tersebut dilatihkan tanpa disadari oleh siswa melalui berbagai pemecahan masalah matematis.
Matematika merupakan ilmu yang harus dipelajari melalui runtutan yang baik. Hal tersebut disebabkan karena materi yang terangkum dalam matematika memiliki hubungan dan bersifat hirarkis. Untuk penanaman konsep siswa harus diajak untuk berpikir secara kontekstual. Setelah konsep tertanam dengan baik secara perlahan siswa diarahkan untuk berpikir secara abstrak. Proses penanaman konsep menjadi proses krusial yang menentukan kemampuan siswa dalam berpikir abstrak (Daniel Muijs dan David Reynolds, 2008: 339).

B.     Pendidikan Matematika Tunanetra
Mengingat krusialitas matematika dalam membekali setiap manusia untuk menghadapi kehidupan maka matematika dibekalkan pada semua siswa, tidak terkecuali tunanetra. Menurut Tarmansyah (2009: 1) fenomena Pendidikan Inklusif merujuk pada kebutuhan pendidikan untuk semua anak (Education for All) dengan fokus spesifik pada mereka yang rentan terhadap marjinalisasi dan pemisahan. Pendidikan inklusif berarti sekolah harus mengakomodasi semua anak tanpa memandang kondisi fisik, intelektual, sosial-emosional, linguistik atau kondisi lainnya.
Pada siswa reguler terdapat banyak media pendukung untuk mengoptimalkan proses pembelajaran. Pendidik dapat memanfaatkan lingkungan sekitar atau perangkat yang tersedia secara leluasa untuk menyampaikan materi. Akan tetapi untuk siswa berkebutuan khusus, materi pada mata pelajaran matematika masih belum banyak dikemas dengan mengoptimalkan indera yang masih berfungsi dengan baik.
Anak tunanetra adalah anak yang mengalami gangguan penglihatan. Menurut Sunanto dalam Lidya Cindi Septika (2013: 3) bahwa “kira-kira delapan puluh persen pengalaman manusia diperoleh melalui penglihatan”. Kehilangan indera penglihatan berarti kehilangan saluran informasi visual dan sebagai akibatnya anak tunanetra akan kekurangan atau kehilangan informasi yang bersifat visual. Sehingga mereka akan kesulitan dalam memperoleh informasi atau pengalaman. Oleh karena itu, sebagai kompensasinya, “anak tunanetra harus berupaya untuk meningkatkan indera lain yang masih berfungsi”.
Paradigma pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus mengisyaratkan seperti pendidikan untuk anak berkelainan. Seharusnya paradigma tersebut dialihkan ke dalam paradigma pendidikan yang berorientasi pada kekhususan kebutuhan. Pendidikan untuk siswa berkebutuhan khusus harus fokus kepada potensi yang dimiliki dari anak berkebutuhan khusus tersebut. Perkembangan layanan pendidikan memandang siswa tunanetra sebagai “exceptional children” seharusnya mengubah persepsinya menjadi “children with special need education” sehingga orientasi pendidikan benar-benar fokus dengan pengembangan potensi yang dimiliki (Purwaka Hadi, 2007: 7-8).
Menurut Lidya Cindi Septika (2013: 3) kenyataannya pembelajaran pada siswa tunanetra saat ini menggunakan pendekatan teacher centered atau pendekatan yang terpusat pada guru, dan dalam pembelajaran hanya mendengarkan ceramah dari guru. Imbas dari metode ceramah adalah siswa kesulitan dalam mengonstruksi ilmunya sendiri sehingga kebermaknaan pembelajaran minimal. Contohnya adalah pada materi Pythagoras dimana siswa tunanetra dimana basisnya adalah hafalah tripel Pythagoras. Guru memfokuskan pada hafalan tripel Pythagoras dibandingkan dengan penggunaan teorema secara umum dalam menyelesaikan masalah. Contoh-contoh konkret penggunaan teorema juga jarang diberikan sehingga siswa tunanetra sulit menyimpulkan kebermanfaat materi. Padahal seharusnya, anak tuna-netra diajarkan dengan pengalaman yang konkret agar mereka mengetahui dengan benar dan pasti serta paham mengenai operasi hitung pecahan matematika.



C.    Pendekatan Realistik Untuk Pendidikan Matematika Tunanetra
Siswa harus memahami konsep yang melandasi prosedur matematis. Hal ini agar pembelajaran yang bermakna dapat tercapai serta anak benar-benar paham dengan apa yang dipelajarinya. Pendekatan realistik menjadi salah satu opsi penyelesaian masalah pendidikan matematika untuk tunanetra saat ini. Pendekatan matematika realistik merupakan pembelajaran yang melibatkan kegiatan-kegiatan yang terpusat pada anak.
Menurut Lidya Cindi Septika (2013: 6) dengan menggunakan pendekatan matematika realistik anak benar-benar belajar dengan benda riil atau memang dengan benda yang dikenal dan bisa dibayangkan anak. Sehingga pembe-lajaran lebih bermakna. Hal ini sesuai dengan pernyataan Wijaya dalam Lidya Cindi Septika (2013: 6) bahwa “Suatu pengetahuan akan lebih bermakna bagi siswa jika proses pembelajaran dilaksanakan dengan suatu konteks atau pembelajaran menggunakan permasalahan realistik”. Menurut Freudenthal dalam Wijaya dalam Lidya Cindi Septika (2013: 6) kebermaknaan ilmu pengetahuan merupakan aspek utama dalam proses belajar. Tanpa ada kebermaknaan ilmu pengetahuan, maka ilmu pengetahuan tersebut akan sulit untuk diterapkan.
Matematika realistik merupakan pendekatan belajar mengajar matematika yang memanfaatkan pengetahuan siswa sebagai jembatan untuk memahami konsep-konsep matematika. Siswa tidak belajar konsep matematik dengan cara langsung dari guru atau orang lain melalui penjelasan, tetapi siswa membangun sendiri pemahaman konsep matematika melalui sesuatu yang diketahui oleh siswa itu sendiri. Matematika realistik member kesempatan siswa mengkonstruk sendiri konsep-konsep matematika melalui sesuatu yang diketahuinya. Dari sesuatu yang diketahui, siswa melakukan, berbuat, mengerjakan, menginterpretasikan, dan semacamnya, yang akhirnya siswa memahami konsep matematika. Menurut Freudenthal dalam Husen Windayana (2007: 1-2), matematika sebagai aktivitas manusia atau mathematics as a human activity. Pandangan ini mengharuskan matematika dipelajari secara aktif.
Gagasan kunci dari matematika realistik adalah memberi kesempatan kepada siswa menemukan kembali konsep-konsep matematika melalui bimbingan guru (guide reinvention). Melalui pengetahuan informal siswa, guru membimbing siswa sampai menemukan konsep matematika sebagai pengetahuan formal. Melalu memecahkan contextual problem yang dipahami, siswa menggunakan pengetahuan informal untuk menemukan konsep-konsep matematik. Proses seperti ini mendorong siswa belajar secara interaktif, karena guru hanya berperan membangun ide dasar siswa Husen Windayana (2007: 2).
Belajar matematika menurut pendekatan matematika realistik berarti bekerja secara matematik melalui memecahkan masalah yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari (contextual problem). Keberadaan contextual problem dalam matematika realistik sesuatu yang sangat penting. Melalui contextual problem siswa membangun konsep matematika dari cara informal ke formal Husen Windayana (2007: 2). Prinsip-prinsip pembelajaran dengan pendekatan matematika realistik menurut Gravemeijer dalam Husen Windayana (2007: 2) adalah:1) reinvention, 2) fenomena didaktik, dan 3) model yang dikembangkan searah dengan falsafah constructivism.
Reinvention adalah prinsip belajar matematika realistik dimana siswa menemukan kembali konsep-konsep matematika melalui bimbingan guru. Siswa memecahkan masalah konteks (contextual problem) dengan cara-cara informal melalui pembuatan model-model kemudian dibimbing oleh guru sampai siswa menemukan konsepkonsep matematika formal. Model adalah jembatan yang menghubungkan siswa dari dunia real (contextual problem) ke konsep-konsep yang akan ditemukannya. Prinsip reinvention menuntut siswa doing mathematics sehingga siswa dapat mempelajari matematika secara aktif dan bermakna.
Fenomena didaktik adalah adanya pemanfaatan konteks sebagai media belajar siswa. Melalui konteks yang dikenal siswa mengembangkan model-model, mulai dari model level rendah atau sederhana (model of) sampai model level tinggi (model for), yang akhirnya siswa sampai menemukan konsep formal matematik. Pemilihan konteks sebagai media awal siswa dalam belajar harus benarbenar nyata atau dipahami siswa. Guru harus memeriksa soal-soal kontekstual yang akan dijadikan media belajar siswa, karena hal ini terkait dengan 1) berbagai prosedur informal yang mungkin akan dibuat siswa dan 2) sesuai tidaknya dengan matematisasi vertical.
Model yang dikembangkan searah dengan constructivism maksudnya adalah, ketika guru memberikan contextual problem yang kemudian diselesaikan siswa dengan menggunakan cara-cara informal melalui pembuatan model-model sendiri oleh siswa sampai ke menghasilkan prosedur formal melalui bimbingan guru sejalan dengan falsafah constructivism. Pendekatan realistik matematik memberi kesempatan siswa mengkonstruk sendiri pengetahuan formal melalui cara atau prosedur informal.
Lidya Cindi Septika (2013: 7) melakukan treatment sebanyak 8 kali pada siswa tunanetra dengan pendekatan realistik. Pendekatan matematika realistik menggunakan media apel sebanyak 3 kali, media coklat sebanyak 2 kali, dan media roti tawar sebanyak 3 kali pada keseluruhan treatment. Hal ini bertujuan agar anak benar-benar paham materi penjumlahan pecahan dengan menggunakan pendekatan matematika realistik. Pemberian perlakuan diberikan secara kontinue mulai dari tahap pengenalan pecahan, pecahan senilai, kemudian masuk ke materi penjumlahan pecahan. Alasan dikenalkan pecahan mulai awal adalah agar anak tunanetra benar-benar mengerti dan faham mengenai apa itu pecahan. Kemudian berlanjut pada materi pecahan senilai karena penjumlahan pecahan juga terkait dengan pecahan senilai. Untuk mengerti dan mengetahui bagaimana penjumlahan pecahan, terlebih dulu mengetahui pecahan senilai karena antara penjumlahan pecahan dan pecahan senilai terkait erat. Untuk itu mengetahui konsep pecahan senilai pada anak tunanetra penting sebelum belajar penjumlahan pecahan terutama penjumlahan pecahan berpenyebut tidak sama. Setelah mengetahui konsep pecahan senilai, baru anak diajarkan penjumlahan pecahan baik penjumlahan berpenyebut sama dan penjumlahan berpenyebut tidak sama.

Pembelajaran matematika realistik berpengaruh positif terhadap hasil belajar penjumlahan pecahan yang mempengaruhi nilai anak. Nilai rata-rata pre test sebelum treatment kurang. Akan tetapi, setelah diberikan treatment menunjukkan dalam pembelajaran penjumlahan pecahan dapat berubah dan nilai rata-rata post test anak mengalami perubahan lebih baik. Adapun data penelitian yang dilakukan oleh Lidya Cindi Septika (2013: 5) adalah sebagai berikut.
No.
Nama
Pre test
Post test
Perubahan Tanda
1.
Ff
41,7
70,8
+
2.
Sr
21,6
40,8
+
3.
Ls
40,8
62,5
+
4.
Er
44,1
65
+
5.
Rd
28,4
50,8
+
6.
FJ
49,2
68,4
+
Jumlah
225,8 : 6 = 37,6
358,3 : 6 = 59,7
X= 6

Pendekatan matematika realistik dapat meningkatkan kemampuan berpikir logis dan menerjemahkan. Hal tersebut nampak ketika siswa berkemampuan memberi alasan secara logis ketika ditanya guru teramati cukup baik serta siswa mampu dengan baik menunjukkan kemampuan berpikir induktif dan deduktif, misalnya membuat kesimpulan dari fakta-fakta yang diketahui Husen Windayana (2007: 3).



Referensi:
Kontak Admin,
Share on Google Plus

Never complained of shortcomings, because shortage remind you to continue to look for the power that is within you. -Tinta Quote- Jadilah pengutip yang Bijak dan Bertanggungjawab dengan mencantumkan dimana Anda mengutip.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Post a Comment